MENGENAL  INTELEJENSI
Description: 1390275600_b320e39a72_b.jpgTerkutip pernyataan seorang Ahli Fisika, Albert Eistein, "The true sign of intelligence is not knowledge but imagination."-(Tanda dari intelejensi bukan tentang pengetahuan tetapi dari imajinasi), dan, seorang Ahli Filsafat, Socrates menyatakan, "I know that I am intelligent, because I know that I know nothing."-(Saya tahu bahwa saya cerdas, karena, saya tahu bahwa saya banyak tidak tahu). Pada jaman sekarang, banyak ilmuwan mencoba untuk bisa mengukur tingkat intelejensi seseorang. Banyak perdebatan antar Ahli dibidangnya seperti Ahli Saraf (Biologi), Ahli Psikologi, Ahli Matematika, Ahli Sosial dan Budaya untuk menjawab tentang pengertian dan bagaimana mengukur intelejensi manusia.
Perdebatan tersebut diawali dengan keingintahuan manusia tentang, Apa yang membuat sesorang lebih cerdas dibanding seseorang yang lain? Apakah intelejensi lebih penting daripada daya ingat? Mungkinkah saraf-saraf tertentu dari manusia diciptakan berbeda-beda oleh Tuhan sehingga memciptakan perbedaan pada tingkat kecerdasan seorang manusia dengan yang lain? Bagaimana cara kerja otak manusia dari sel yang terkecil didalamnya sehingga mampu untuk melahirkan ide? Apa yang menyebabkan perbedaan intelejensi pada manusia sehingga melahirkan Keahlian yang berbeda seperti contohnya, Ahli Matematika-Ibu Sina yang ahli menghitung takaran-takaran efek obat yang bereaksi didalam tubuh manusia dan Ahli Bahasa-Oscar Wilde yang ahli menulis drama dengan susunan kata-katanya yang menggugah dunia?
Begitu rumitnya system saraf manusia seperti contohnya emosi dan daya ingat, maka tingkat intelejensi manusia tidak bisa disamaratakan sehingga menghasilkan perbedaan jenis intelejensi beserta tingkatannya sesuai jenisnya masing-masing (lihat Buletin Ziraya edisi Okt/2015). Di abad 20 ini, melahirkan tiga konsep teori yang masih diperdebatkan hingga sekarang. Pertama, oleh Charles Spearman di tahun 1904, menyatakan bahwa ada perbedaan jenis intelejensi yang tidak terhubung satu sama lain karena adanya faktor “G”(belum bisa dijelaskan karena masih diperdebatkan) dan bisa diketahui melalui tes IQ. Kedua, seorang psikolog Alumnus Universitas Harvard-Amerika Serikat, Howard Gardner, memperbaiki pengertian teori pertama diatas dengan lahirnya jenis intelejensi yang makin detil (lihat Buletin Ziraya edisi Okt/2015). Ketiga, pada tahun 1985, Robert Sternberg, menyatakan bahwa teori-teori diatas terlalu dangkal dan sempit ruang lingkupnya dan membatasi kekayaan intelejensi manusia hanya dengan tes IQ. Sehingga, beliau melahirkan teori baru tentang intelejensi seperti berikut: manusia berjenis analitis (suka mengamati dan mendefinisikan), manusia berjenis kreatif (suka menciptakan hal baru), dan manusia berjenis praksis (suka langsung praktek).

Dengan wawancara bersama Dr. Howard Gardner, beliau menjelaskan tentang seberapa banyaknya perdebatan teori diatas, yang utama harus diingat adalah, setiap manusia memiliki sejarah masing-masing yang berbeda satu sama lain, yang sangat mempengaruhi pola berpikirnya dan kecenderungan intelejensinya. Begitupula dengan budaya, yang didalamnya terdapat nilai ajaran yang berbeda-beda yang mempengaruhi keputusan dalam bersikap sehingga dapat merubah sikap dari satu waktu ke waktu yang lain. Dari tahun ke tahun, saya mengamati jika Anda ingin menjaga dan mengembangkan kecerdasan, kemampuan berbahasa yang berperan pertama dan utama. Dengan bahasa, kita mudah menyerap banyak informasi/ pengetahuan baik secara tertulis maupun lisan seperti saat kita membaca dan saat mengobrol dengan seseorang. Berbagai informasi perlu diserap seperti pengetahuan tentang Matematika, pengetahuan tentang Emosi (Psikologi), pengetahuan Sosial dan Budaya (Antropologi&Sosiologi). Mengapa perlu? Jika kita hanya pandai dibalik meja, dibalik buku, kita tidak akan pernah belajar bagaimana berinteraksi dengan sesama manusia (mengenal begitu variatifnya tipe manusia, dari sisi baik dan buruknya sehingga bisa menentukan penyikapan yang tepat dan menjaga hubungan dengan orang lain mengingat sebagai makhluk individu maupun sosial), kita tidak akan pernah mengenal diri kita (semakin banyak mengenal perbedaan, kita akan mampu menentukan siapa kita), kita tidak bisa menata emosi positif maupun negatif sesuai pada tempatnya (terlalu banyak mengeluarkan emosi positif ‘berbaik sangka’, akan dimanfaatkan orang lain-terlalu banyak emosi negatif ‘berburuk sangka’, akan dihindari banyak orang). Maka, kecerdasan itu harus mengenal beragam pengetahuan karena kita tidak hidup sendiri di dunia. Kita harus cerdas otaknya dan cerdas sikap serta tingkah lakunya.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Meningkatkan Jiwa Kompetitif

ANAK MANDIRI SEJAK DINI

Meningkatkan Motivasi Belajar