SETIAP CERITA BERAWAL DI RUMAH
Mengutip
Surat An-Nisa ayat 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Ayat tersebut menjelaskan akan lemah kuatnya anak adalah kewajiban orangtuanya.
Kuat lemah tersebut dapat meliputi seluruh aspek anak sebagai manusia, baik
dari sisi psikologisnya, fisiknya maupun kecerdasannya. Dilain sisi, orangtua
juga selalu khawatir akan kesejahteraan anaknya. Tentunya, kesejahteraan yang
meliputi berbagai segi, bukan hanya dari kecukupan ekonomi.
Para orangtua memenuhi kekuatan dan pemenuhan kesejahteraan secara
materi anak dengan cara bekerja. Lalu, para orangtua berharap dapat memenuhi
segi lainnya dengan jalan perantara ketiga yaitu sekolah. Mengapa? Stigma
sekolah merupakan sebagai pusat pendidikan. Ketika kami mempertanyakan, Siapa
yang tahu dengan Pendidikan? Kami menemui banyak definisi. Sehingga pada
akhirnya pun kami kembalikan pada hal yang sederhana dan mendasar. Siapa yang
tahu? Bukan Profesor. Bukan pula Guru. Jawabnya adalah Ibu. Seorang Ibulah yang
tahu persis tentang pendidikan. Ibu yang secara kodrati memiliki kewajiban
mengandung dan melahirkan seorang anak manusia. Ibu berusaha menjaga roh
manusia sejak didalam tubuhnya. Ibu berusaha menjaga berbagai segi kebutuhan
anaknya sejak didalam kandungan. Ibu yang pertama kali peduli akan perkembangan
sesosok anak manusia sejak berupa gumpalan darah. Ibu yang pertama merasakan
sakit dan lelahnya ketika diamanahi seorang anak sejak dalam kandungan,
sehingga Ibulah juga yang berusaha menemukan solusi untuk tegar melewatinya.
Itulah arti sederhana akan pendidikan. Pendidikan merupakan suatu usaha terhadap
sesama manusia untuk menjadikannya lebih baik.
Lantas, mengapa para orangtua selalu panik jika dihubungkan
tentang sekolah? Akan bersekolah di usia berapa putra-putrinya kelak? Sejak
Taman Bermainkah, PAUDkah? Tanpa TKkah? Sekolah berbasis Agamakah? Sekolah
bertaraf Internasionalkah dengan menggunakan multi bahasa? Sekolah fullday-kah?
Berkuliah di Perguruan Tinggi Negerikah? Menjuruskan putra-putrinya ke Fakultas
Ekonomikah agar berhasil kelak? Bapak…Ibu…Ingatlah, masa depan mereka berawal
di genggaman tangan Anda. Lalu, yang lain sebagai apa? Lembaga-lembaga
pendidikan hanya sebagai fasilitas bagi mereka. Bapak/ Ibu coba bayangkan,
secanggih-canggihnya memiliki Handphone jika penggunanya bodoh, tetaplah
Handphone tersebut hanya akan dipakai untuk bertelepon saja. Begitupula seorang
anak, dengan bagaimanapun sekolah yang Anda percaya untuk menyekolahkannya
sebagai fasilitas pendidikannya, tetaplah hanya sebuah tempat yang jauh dari
visi-misinya jika Anda sebagai orangtua tidak bersikap tepat dan seirama dengan
lembaga tersebut.
Apapun sekolahnya, kebutuhan masing-masing anak adalah
pijakannya. Lembaga pendidikan adalah panjang tangan Anda untuk membantu
memenuhi kebutuhan putra-putri Anda. Guru-guru mereka adalah mata Anda diluar
rumah. Apapun visi misi suatu lembaga, yang terpenting adalah dapat
mengembangkan semua segi seorang anak baik EQ dan IQ nya. Dan yang mendominasi
kesuksesan seseorang adalah penguasaan segi EQ nya (kemampuan membawa diri)
daripada IQnya (kecerdasan intelektual). Maka, Bapak/ Ibu waspadalah terhadap
semua segi putra-putri Anda, bukan hanya pada prestasi sekolahnya. Mengapa
hingga Menteri Pendidikan menghapus sistem Rangking di sekolah? Karena Rangking
menciptakan ketidakadilan. Apakah adil jika ada Gajah, Burung dan Ular harus
bisa terbang semua? Tidak. Setiap mereka memiliki potensi yang berbeda,
begitupun juga seorang anak dengan berbagai potensinya yang tidak selalu pada
bidang akademik. Berdamailah dengan segala kekurangan dan kelebihan putra-putri
Anda. Keberhasilan lembaga pendidikan bukan satu-satunya tolak ukur
keberhasilan putra-putri Anda melainkan bagaimana seorang anak mampu membawa
diri di berbagai situasi dan kondisi. Di fase inilah peran orangtua harus aktif
dan cermat, abaikan sejenak daftar angka-angka atau nilai-nilai hasil
belajarnya karena mereka juga harus belajar akan kehidupan yang kelak Anda
tidak akan selalu bisa mengawasinya karena keterbatasan usia. Bekalilah
putra-putri Anda lebih dari sebuah angka. Karena sejatinya suatu pendidikan ada
di tangan para orangtua, terutama seorang Ibu.
Apakah seorang Ibu menjalankan perannya dengan baik harus
berada dirumah? Apakah dipandang sebagai suatu masalah jika seorang Ibu juga
bekerja untuk menopang kekurangan ekonomi keluarganya? Salahkah andai Ibu
berkegiatan diluar rumah dan tidak memiliki banyak waktu untuk putra-putrinya?
Apakah Ibu yang dirumah pasti bisa menjamin memberi keteladanan yang tepat? Bagaimana
jika Anda melihat Ibu dirumah yang selalu penuh dengan emosi negatif dibanding
Ibu pekerja yang bersikap manis disetiap sela waktu yang Beliau punya? Manakah
yang lebih lebih baik? Yang lebih baik terletak pada adanya kesadaran orangtua
akan peran dan fungsinya, entah sebagai Ibu Rumah Tangga maupun sebagai Ibu
pekerja. Kesadaran tersebut tidak hanya pada ukuran waktu seberapa lama
mendampingi putra-putrinya melainkan bagaimana mengefektifkan waktu yang ada
untuk kebutuhan yang ada. Menjadi Ibu memang tidak mudah, tetapi menjadi Ibu
cerdas adalah pilihan. Kecerdasan Anda akan berdampak pada putra-putri Anda. Benar
ada pepatah berbunyi, “Buah kelapa tidak akan jauh jatuh dari pohonnya”. Bagaimana
mungkin anak dapat berubah menjadi A jika orangtuanya menjadi B? Pendidikan
adalah keteladanan. Mari Bapak/ Ibu, berfastabiqul khoirat, berlomba-lomba
memberi keteladanan bagi anak-anak yang masih suci dan polos akan hitam
putihnya kehidupan dunia agar mereka kelak dapat memilah dan memilih yang baik
baginya.
‘Senyum anak Anda dirumah adalah tanda keberhasilan Anda’
Comments
Post a Comment